Friday, June 10, 2022

PENYAKIT KUSTA (MORBUS HANSEN)

Kusta adalah penyakit infeksi Mycobakterium pada manusia yang kronik progresif, mula-mula menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut dan hidung, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, testis, dinding pembuluh darah (terutama tipe lepromatosa) dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Sinonim kusta adalah Lepra dan Morbus Hansen.
wajah-penderita-lepra

Kata kusta berasal dari bahasa India kushta, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam Kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.

EPIDEMIOLOGI

Penderita kusta tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brazil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.

Kusta dapat menyerang semua orang. Pria lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada daerah yang menunjukkan insidensi hampir sama bahkan penderita wanita lebih banyak. Perbedaan tidak begitu nyata untuk tipe tuberkuloid pada orang dewasa karena perbedaan kerentanan dari faktor-faktor kontak.

Kusta dapat mengenai semua umur, walaupun jarang dijumpai pada umur sangat muda. Kelompok umur terbanyak penderita antara 25-35 tahun dan kerentanan terhadap kusta sama untuk semua umur, kecuali bayi. Di Indonesia penderita anak dibawah umur 14 tahun sekitar 13 % tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Ada usaha pencatatan penderita dibawah umur 1 tahun untuk mencari kemungkinan adanya kusta kongenital.
epidemiologi-lepra-tiap-tahunnya-di-seluruh-dunia

Terdapat perbedaan pada ras maupun geografik walaupun tidak ada bukti bahwa suatu ras bangsa lebih rentan dibandingkan lainnya. Pada ras kulit hitam insidensi bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa. Kemampuan penderita memperoleh imunitas sebelumnya akan melokalisir penyakit sehingga secara klinis menjadi tuberkuloid dan apabila respon imunitas seluler gagal, akan menjadi tipe lepromatosa.

Faktor lain yang berperan dalam kejadian dan penyebaran kusta diantaranya iklim (cuaca panas dan lembab), diet, status gizi, patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.

Kerentaan penderita merupakan suatu faktor penting. Dua hal yang perlu diperhatikan:
  • Faktor yang membuat seseorang mudah terkena penyakit.
  • Faktor yang mempengaruhi tipe penyakit

ETIOLOGI

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae, pleomorfik lurus, ukuran 1-8 x 0,2-0,5. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok serta berkembang biak perlahan dengan cara “binary fision” yang membutuhkan waktu 11-13 hari sehingga menyebabkan masa inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan semua manifestasi kliniknya menjadi kronik.

Mycobacterium leprae adalah basil obligat intraseluler yang terutama berkembang biak didalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit, dapat ditemukan didalam tanah, air, udara dan pada manusia terdapat pada permukaan kulit, rongga hidung dan tenggorokan. Basil ini dapat ditemukan dalam folikel rambut, kelenjar keringat, sekret dan mukosa hidung serta daerah erosi atau ulkus pada penderita tipe borderline dan lepromatosa.

Untuk kriteria identifikasi, ada 5 sifat khas Mycobacterium leprae, yaitu:
  1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan secara in vitro pada media buatan walaupun dapat diinokulasi pada binatang percobaan.
  2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
  3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
  4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan tumbuh dalam saraf perifer.
  5. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatosa.
Manusia merupakan satu-satunya sumber infeksi dan hospes alamiah. Tipe lepromatosa dengan banyak basil merupakan sumber utama penularan.

KLASIFIKASI

Menurut kongres Internasional Madrid (1953), penyakit kusta dapat dibagi atas:
  • Tipe Lepromatosa (L)
  • Tipe Tuberkuloid (T)
  • Tipe Borderline (B)
  • Tipe Indeterminan (I)
Klasifikasi tersebut berguna untuk program pemberantasan penyakit kusta. Kepentingan pokok klasifikasi penderita dalam menentukan strategi pemberantasan kusta adalah untuk
  • Identifikasi kasus-kasus infeksius
  • Identifikasi kasus-kasus yang mungkin menjadi infeksius
  • Identifikasi penderita yang mungkin akan mengalami deformitas
  • Menentukan lamanya pengobatan yang ditentukan oleh tipe penyakitnya
Sedangkan untuk penelitian dan pengobatan dipakai klasifikasi Ridley dan Jopling (1966) yang dibuat berdasarkan respon imunologis penderita, yaitu:
  • Tipe TT (Tuberkuloid Polar) merupakan tipe stabil
  • Tipe BT (Borderline Tuberkuloid)
  • Tipe BB (Mid Borderline)
  • Tipe BL (Borderline Lepromatous)
  • Tipe LL (Lepromatous Polar)
Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi adalah sebagai berikut :
KLASIFIKASI
ZONA SPEKTRUM KUSTA
Ridley & Jopling
TT
BT
BB
BL
LL
Madrid
Tuberkuloid
Borderline
Lepromatosa
Polar Tuberkuloid
Bentuk Intermediate
Polar Lepromatosa
WHO
Pausibasile (PB) / Non Basiliferus
Multibasiler (MB) / Basiliferus
Puskesmas
I dan T
B dan L

PERJALANAN PENYAKIT

Predileksi Mycobacterium leprae di daerah yang relatif dingin. Patogenitas dan daya invasifnya rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif sehingga disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya.

Bagan patogenesis penyakit kusta:
bagan-patogenesis-penyakit-kusta-lepra-morbus-hansen

Penderita yang terkena kontak dengan Mycobacterium leprae akan timbul infeksi subklinik dan sembuh secara alamiah tanpa menunjukkan gejala atau tanda klinik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tes imunologik yang merupakan respons normal terhadap kontak seseorang dengan M. leprae sebagai tanda timbulnya imunitas.

Setelah M.leprae masuk tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan timbul gejala penyakit. Tipe yang terjadi bergantung pada derajat CMI (Cell Mediated Immunity) penderita terhadap M.leprae. Kalau CMI tinggi, ke arah tuberkuloid dan kalau rendah kearah lepromatosa.

Perjalanan alamiah penyakit kusta yang tidak diobati dapat dilihat pada diagram berikut:
perjalanan-infeksi-penyakit-kusta
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan tambahan yaitu lesi yang diawali dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas. Bila saraf terkena, penderita mengeluh kesemutan/baal atau sukar menggerakkan anggota badan, yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rambut alispun rontok.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA PENYAKIT DAN CARA PENULARAN

Penyakit kusta banyak terjadi pada negara-negara berkembang dan faktor sosioekonomi yang rendah, lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan dan faktor genetik berperan penting dalam penularan karena penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu kusta.

Ada 3 faktor yang berperan dalam proses penularan, antara lain:
  1. Jalan keluar dari penderita (port of exit), terutama melalui sekresi lendir hidung (paling banyak), ulkus, air susu ibu dan usapan vagina.
  2. Cara penularannya sendiri melalui :
    - Kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
    - Percikan udara pernafasan (secara inhalasi), sebab Mycobacterium leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
    - Melalui traktus gastrointestinalis.
    - Vektor (nyamuk)
    - Mycobacterium leprae yang hidup bebas diudara.
  3. Pintu masuk kuman (port of entry) yang paling mungkin adalah traktus respiratorius, dapat juga masuk melalui kulit. Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang dalam urine.

PEMERIKSAAN KLINIK

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:
  • Multiplikasi dan diseminasi kuman
  • Respons imun penderita terhadap kuman
  • Komplikasi yang diakibatkan kerusakan saraf perifer
Gambaran klinik kusta sangat bervariasi, tergantung dari keseimbangan antara respons imunitas seluler penderita dengan multiplikasi kuman yang ditunjukkan jelas pada stadium lanjut dan semuanya tergantung dari tipe penyakitnya:

Tipe TT

Lesi kulit satu atau beberapa, berupa makula hipopigmentasi atau erimatous bentuk bulat atau lonjong, batas tegas, kadang berupa plak dengan tepi meninggi dan tengah menipis, lesi regresi atau penyembuhan ditengah, permukaan kasar dan kering (bersisik), gangguan sensibilitas (anestesi) komplit atau inkomplit, penebalan saraf pada daerah lesi, kelemahan otot, sedikit rasa gatal disertai pemeriksaan bakteriologi negatif dan tes lepromin positif kuat. Tipe ini mempunyai imunitas tinggi terhadap Mycobacterium leprae, sehingga lesi berkembang perlahan dan tetap sukar ditemukan. Kusta tipe ini dapat sembuh sendiri tetapi bekasnya sukar diobati.

Tipe BT

Berupa makula atau plak erimatosa tak teratur, lesi satu atau beberapa, batas tak tegas, kering, mula-mula ada tanda kontraktur, anestesi dengan pemeriksaan bakteriologi positif/negatif dan tes lepromin positif/negatif. Lesi menyerupai tipe TT, tetapi bukan tipe kutub dimana lesi individual tidak begitu menunjukkan tepi yang tegas seperti tipe TT. Tepi lesi mungkin sama rata dengan kulit normal atau mungkin terdapat satelit disekitar lesi yang besar dekat saraf perifer yang menebal. Lesi yang terjadi lebih banyak dibandingkan tipe TT, lebih bervariasi dan deskuamasi lebih nyata. Hipopigmentasi dan kekeringan kulit tidak jelas serta gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan asimetrik.

Tipe BB

Tidak menunjukkan adanya invasi kuman pada mukosa hidung, mata, tulang maupun testis. Merupakan tipe paling tidak stabil dengan gambaran klinik campuran dari tanda khas kusta, yaitu lesi dikulit banyak walau tidak sebanyak tipe lepromatous, permukaan mengkilat, ada kecenderungan simetris, bentuk makula infiltrat atau plak erimatosa, menonjol, bentuk irreguler dengan tepi samar, batas tidak tegas, kasar, lesi punched out, satelit diluar plak, saraf banyak terkena penebalan dan kontraktur tetapi tidak simetris, pemeriksaan bakteriologi positif dan tes lepromin negatif.

Tipe BL

Berupa makula infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil dan tes lepromin negatif. Lesi lebih pleomorfik, banyak dan tersebar sehingga menyerupai tipe LL walaupun masih dapat dibedakan secara jelas dengan pemeriksaan yang teliti. “Punched out” yang merupakan tanda khas masih dapat dijumpai. Madarosis, ulserasi mukosa hidung dan keratitis belum dijumpai, kalaupun ada masih sebagian saja. Anestesi yang terjadi sama dengan tipe LL tetapi tidak simetris, dengan tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, gugurnya rambut dan pembesaran saraf terjadi lebih awal.

Tipe LL

Infiltrat difus berupa nodula simetri, makula multipel sedikit hipopigmentasi, papula infiltrat agak mengkilat. Jumlah lesi sangat banyak, permukaan halus, lebih eritem, batas tak tegas, tidak ada gangguan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini disertai pemeriksaan bakteriologi positif kuat dan tes lepromin negatif. Gangguan sensibilitas (anestesi) dan sekuele saraf bilateral pada stadium akhir, penebalan kulit progresif, madarosis, ulserasi nasal dan “sadle nose”, ginekomastia, orkitis, atropi testis dan facies leonina. Penderita tidak mampu melawan infeksi sehingga hasilnya akan berkembang tanpa terkontrol. Kuman banyak ditemukan diseluruh badan, terutama dikulit dan serabut saraf. Organ-organ yang dapat terserang antara lain kulit, serabut saraf, mukosa, hepar, lien, kelenjar limfe, testis, mata dan dinding pembuluh darah.

Tipe Indeterminate (I)

Jumlah lesi sedikit, satu atau lebih makula hipopigmentasi dengan sisik sedikit dan kulit sekitar normal, asimetrik, batas tidak tegas, sedikit kering, sedikit gangguan fungsi keringat, sedikit atau tidak didapatkan gangguan sensibilitas, basil lepra sangat sedikit (jarang dijumpai) sehingga pemeriksaan bakteriologi negatif dan tes lepromin positif. Tipe ini tidak disebutkan dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, diagnosisnya didasarkan atas observasi klinik secara teratur. Lebih dari separuh penderita kusta tipe ini sembuh tanpa pengobatan dan menimbulkan kekebalan terhadap Mycobacterium leprae. Selain pemeriksaan kulit harus diperiksa/dipalpasi saraf tepi (n. ulnaris, n. radialis, n.aurikularis magnus dan n. poplitea), mata (lagoftalmos), tulang (kontraktur atau absorpsi) dan rambut (alis mata, kumis dan lesi itu sendiri)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Bakteriologik

Untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan termasuk penilaian hasil pengobatan dan penentuan adanya resistensi pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan, irisan kulit atau apusan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam.

Bakterioskopik negatif pada penderita kusta bukan berarti orang tersebut tidak mengandung Mycobacterium leprae. Dua hal yang perlu diperhatikan:
  1. Index Bakteri (IB)
    Menilai kepadatan hasil yang dimulai dari 0 sampai +6 dan memberikan gambaran jumlah bakteri pada penderita meliputi kuman hidup (solid) dan mati (non solid), index dihitung dari rata-rata Index Bakteri sediaan apus yang diperiksa dan setiap penderita harus diperiksa minimal 6 sediaan.
  2. Index Morfologi (IM)
    Ditentukan apabila I.B lebih dari +3, merupakan prosentase kuman berbentuk solid dari seluruh kuman, berguna untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut :
    - Infeksiositas penderita
    - Resistensi kuman terhadap pengobatan
    - Keadaan penderita

Pemeriksaan Histopatologik

Dilakukan apabila:

  • Diagnosis tidak pasti (tipe indeterminate), untuk biopsi harus menyertakan kulit normal
  • Untuk menentukan klasifikasi secara tepat
  • Untuk menentukan macam penyakit kusta, misalnya antara reaksi down grading dengan up grading
  • Untuk menentukan kemajuan pengobatan


Tes Histamin

Histamin yang disuntikkan secara intradermal kedalam kulit normal akan menyebabkan terjadinya dilatasi pembuluh darah kulit normal berupa bintul-bintul dan eritema “histamine flare”. Kerusakan serabut saraf dilihat dari berkurangnya ukuran bintul dan eritema, penting untuk menentukan penyebab suatu makula hipopigmentasi.

Tes Pilokarpin

Proses berkeringat tergantung pada integritas serabut saraf parasimpatis. Apabila suatu makula hipopigmentasi disebabkan karena kusta, maka respon kelenjar keringat terhadap obat kolinergik akan berkurang.

Tes Lepromin

Berguna untuk menentukan klasifikasi penyakit dan prognosisnya.

Lain-lain, seperti pemeriksaan anestesia dengan jarum atau air panas dan tes keringat dengan pinsil tinta (tes Gunawan)

DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis, hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan pemeriksaan tambahan.

Terdapat tanda-tanda kardinal penyakit kusta, yaitu :
  1. Anestesia Dapat terjadi pada masing-masing lesi kulit atau pada kulit daerah inervasi saraf yang terkena.Tes sensibilitas kulit seperti tes untuk temperatur, rasa nyeri dan sentuhan ringan harus dikerjakan pada semua penderita untuk mengetahui adanya anestesi.
  2. Lesi-lesi kulit Infiltrat, makula, papula, nodulus dan lainnya timbul tidak diketahui, kadang akut tanpa rasa gatal, tetapi dengan anestesi perlangsungannya lambat (bertahun-tahun).
  3. Penebalan saraf perifer setempat Neuritis karena kusta sering menyebabkan penebalan atau pembesaran saraf. Pemadatan dan perubahan bentuk ini disertai dengan kelemahan otot yang diinervasi serabut saraf tersebut, selain dapat terjadi atropi maupun anhidrosis. Penebalan saraf paling sering terlihat pada n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n. tibialis posterior dan n. peroneus.
  4. Ditemukannya Mycobacterium leprae (bakteriologis positif) Ditemukannya basil tahan asam terutama pada tipe lepromatosa dan borderline.
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai paling sedikit 2 dari 3 tanda kardinal pertama dan diagnosis akan semakin kuat jika ditambah tanda yang ke-4.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding kusta:
  • Ada makula hipopigmentasi
  • Ada daerah anestesi
  • Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
  • Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabangnya
Penentuan diagnosis banding dari penyakit kusta lebih didasarkan pada efloresensi/ bentuk lesi kulit tiap tipe penyakit.
  • Tipe I (makula hipopigmentasi). Diagnosis banding: Tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika, liken simpleks kronis.
  • Tipe TT (makula erimatosa dengan pinggir meninggi). Diagnosis banding: Tinea korporis, psoriasis, lupus erimatosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea.
  • Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas). Diagnosis banding: Selulitis, erisipelas ataupun psoriasis.
  • Tipe LL (bentuk nodula). DD: SLE, dermatomiositis atau erupsi obat.

PENATALAKSANAAN

Non farmakologi
  • Rehabilitasi
    Dilakukan untuk cacat tubuhnya dengan jalan operasi dan fisioterapi. Fungsi dan kosmetik dapat diperbaiki walaupun hasil tidak sempurna.
    Memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan cacat tubuh agar dapat berorientasi dan meningkatkan harga dirinya
  • Rehabilitasi kejiwaan

Farmakologi

Kombinasi atau MDT (Multi Drug Treatment) yang mulai diterapkan tahun 1971 untuk tipe I, TT dan BT terdiri dari DDS (Diamino Difenil Sulfon), klofazimin dan rifampisin merupakan obat anti kusta yang paling banyak digunakan saat ini karena banyak kasus resisten terhadap pengobatan tunggal.
  • DDS
    Paling banyak dipakai dan paling murah sehingga sesuai untuk negara berkembang yang sosial ekonominya rendah walaupun sering menyebabkan resistensi, dosis 100 mg/hari.
  • Rifampisin Dosis 600 mg setiap bulan. Pemberian monoterapi memperbesar terjadinya resistensi. Keduanya diberikan selama 6-9 bulan, pemeriksaan bakteriologi dilakukan setelah 6 bulan pengobatan dan pengawasan selama 2 tahun.
  • Klofazimin Dosis 50 mg/hari, 100 mg selang sehari atau 3 x 100 mg setiap minggu. Bersifat anti inflamasi dengan efek samping berupa warna kecoklatan pada kulit dan kekuningan sclera seperti ikterus.
MDT dengan beberapa alternatif yang telah ditetapkan pada Rapat Konsultasi Kusta Nasional (RKKN) untuk kusta multibasiler (LL, BL, BB) adalah sebagai berikut:
  • Rifampisin 600 mg setiap bulan
  • DDS 100 mg setiap hari
  • Klofazimin 300 mg/bulan, diteruskan 50 mg setiap hari, 100 mg selang sehari atau 3 x 100 mg setiap minggu. Pengobatan dilakukan selama 2-3 tahun dan pemeriksaan bakteriologi setiap 3 bulan
  • Bila pengobatan pertama tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan MDT alternatif. Rifampisin 1200 mg dosis tunggal sekali saja.

PROGNOSIS

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat serta prognosis menjadi lebih baik. Bila sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

REAKSI KUSTA

Definisi reaksi kusta:
Episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru dikulit.

Klasifikasi reaksi kusta:
  • Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
    Umumnya terjadi pada kusta tipe BL atau LL. Yang berperan penting adalah sistem imunologis humoral. Gejala konstitusional berupa demam, menggigil, mual, nyeri sendi, sakit pada saraf dan otot. Pada kulit timbul eritema, nodus dan bila nodus pecah menimbulkan ulkus. Predileksi antara lain lengan tungkai dan dinding perut.
  • Reaksi Pembalikan (Reaksi Reversal, Reaksi Upgrading)
    Umumnya pada kusta tipe BT, BB dan BL. Yang berperan penting adalah sistem imunologis seluler. Gejala konstitusi lebih ringan dari ENL. Gejala kulit lesi-lesi kusta menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak. Tidak timbul nodus dan kadang ada jejak neuritis.
Penatalaksanaan reaksi kusta :
  • Eritema Nodosum Leprosum (ENL) :
    - Antipiretik-analgetik: Parasetamol atau Metampiron 4 x 500 mg
    - Kortikosteroid: Prednison, dosis awal 20-40 mg/hari dalam 4 dosis
    - Klofazimin 300 mg/hari
    - Obat antikusta lain diteruskan
  • Reaksi Pembalikan (Reaksi Reversal, Reaksi Upgrading)
    - Bila timbul neuritis, berikan kortikosteroid (Prednison 30-60 mg/hari)
    - Analgetik dan antipiretik jika perlu
    - Obat kusta yang lain diteruskan