Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat trauma dapat sangat parah. Untungnya, trauma laring ini sangatlah jarang ditemukan dan hanya ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Penatalaksanaan yang terstandarisasi telah dikembangkan untuk membantu dalam mengevaluasi dan mengidentifikasi kerusakan yang membutuhkan intervensi bedah. Diagnosis dan perawatan dini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut termasuk kematian.
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan seterusnya. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan mobil, tertendang atau terpukul waktu berolahraga bela diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri (strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang di jalan (clothesline injury).
Fraktur laring dapat terjadi pada trauma yang mengenai daerah leher dan seringkali menimbulkan obstruksi jalan nafas yang membutuhkan perawatan seumur hidup. Oleh karena itu, pasien-pasien yang diduga mengalami fraktur laring harus diperlakukan sebagai pasien gawat darurat.
Permasalahan
Pasien dengan trauma seringkali datang dengan berbagai kerusakan yang menyulitkan. Terapi yang tepat pada pasien seperti ini haruslah menempatkan keutuhan jalan nafas sebagai prioritas utama. Cedera pada laring dapat bervariasi dari cedera mukosa hingga fraktur dan pecahnya tulang rawan. Berbagai kombinasi cedera sepanjang saluran akan berakibat pada kagawatdaruratan jalan nafas.
Meskipun kemajuan dalam teknik foto radiologi telah menyempurnakan diagnosis, angka kejadian trauma laring yang jarang disertai terbatasnya jumlah spesialis tht yang berpengalaman dengan trauma ini, telah membuat trauma laring menjadi sangat sulit untuk diatasi. Pendekatan trauma laring yang terorganisir dapat mencegah dari kesalahan diagnosis dan penatalaksanaan yang tidak adekuat.
Frekuensi
Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan pasien, 1 dari 14000-42000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari keseluruhan kejadian trauma tumpul. Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di sekitarnya. Misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada kanak-kanak dimana laringnya lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Sebagai tambahan, berkurangnya trauma laring pada pengendara kendaraan bermotor oleh karena penggunaan sabuk pengaman dan pengaman berkemudi lainnya.Kurang dari 50 % dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.
Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang, membuat mereka lebih rawan untuk terkena trauma laring., khususnya trauma supraglottik. Namun secara keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan trauma ini (77% vs 23 %), Hal ini dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim dan perkelahian.
Pada kelompok umur yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan proses penuaan seperti telah terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.
Cedera yang paling sering terkait dengan trauma laring adalah cedera intrakrania (13%), cedera leher terbuka (9%), fraktur tulang servikal (8%) dan cedera esofagus (3%).
Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas :
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau krikotirotomi ) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan alcohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse), misalnya akibat berteriak, menjerit keras dan bernyanyi dengan suara keras.
Cedera laring secara khusus dapat dikategorikan berdasarkan kausanya, yakni cedera tajam atau tumpul dan kemudian dikategorikan lagi dalam kecepatan tinggi atau kecepatan rendah. Sebagian besar trauma laring adalah akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor atau akibat cedera terjerat tali yang terentang di jalan (clothesline injury). Sebagian kecil kasus disebabkan oleh cedera olahraga, korban tindak kejahatan, tergantung, tercekik, menelan benda korosif, inhalasi asap dan kasus-kasus efek samping pengobatan (iatrogenik).
Anatomi
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian superiornya membuka ke dalam laringofaring, dan di inferiornya bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglottis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot.
Tulang rawan tiroid merupakan tulang rawan terbesar dalam laring. Bentuknya yang seperti perisai memberikan perlindungan terhadap komponen internal dari laring. Kedua sayap quadrilateralnya (lamina dekstra dan sinistra) saling bertemu membentuk tonjolan laring (adam’s apple). Bagian superior dari tonjolannya membetuk takik tiroid. Di bagian bawah, tonjoan laring mebentuk takik tiroid inferior.
anatomi laring |
Kornu superior dan inferior berasal dari margin posterior di masing-masing sisi. Kornu yang lebih rendah berartikulasi dengan sisi lateral dari tulang rawan krikoid dan membentuk sendi krikotiroid. Ligamentum tirohyoid tersambung antara kornu superior tiroid dengan kornu besar dari tulang hyoid. Membran tirohyoid membentang diantara tulang hyoid dengan permukaan atas kartilago tiroid. Membran krikotiroid membentang diantara kartilago tiroid dan krikoid. Garis oblique, tempat perlekatan dari sternohyoid, tirohyoid dan muskulus konstriktor faring inferior, berlokasi di permukaan luar dari kartilago tiroid.
Seperti halnya kartilago tiroid, kartilago krikoid juga memproteksi struktur lain dalam laring. Kartilago krikoid merupakan satu-satunya struktur pendukung dari rangka laring yang berbentuk cincin yang utuh. Di bagian depan, kartilago ini membentuk pita yang relatif sempit sementara di bagian belakangnya membentuk lamina yang lebih besar yang tingginya kurang lebih 2-3 cm. Articulatio krikotiroid terjadi antar masing-masing persambungan dari lamina dan arkus. Tanduk inferior dari kartilago tiroid berartikulasi sisi demi sisi dengan kartilago krikoid.
Seperti halnya kartilago tiroid, kartilago krikoid juga memproteksi struktur lain dalam laring. Kartilago krikoid merupakan satu-satunya struktur pendukung dari rangka laring yang berbentuk cincin yang utuh. Di bagian depan, kartilago ini membentuk pita yang relatif sempit sementara di bagian belakangnya membentuk lamina yang lebih besar yang tingginya kurang lebih 2-3 cm. Articulatio krikotiroid terjadi antar masing-masing persambungan dari lamina dan arkus. Tanduk inferior dari kartilago tiroid berartikulasi sisi demi sisi dengan kartilago krikoid.
Tulang hyoid menyediakan dukungan tambahan terhadap laring. Membran yang melekat pada tulang hyoid berfungsi mengangkat laring dan mencegahnya dari aspirasi. Korpus anterior dan 2 kornu yang lebih besar mengarah ke posterior sementara 2 kornu yang lebih kecil mengarah ke superior.
Epiglottis bersifat fleksibel, seperti daun, elastis dan memiliki struktur tulang rawan yang meruncing ke bawah membentuk ekstensi yang mirip kapur tulis disebut petiole. Petiole merupakan tempat perlekatan dari ligamen tiroepiglottic yang menghubungkan epiglottis dengan tonjolan laring. Bagian superior dari epiglottis berlokasi di posterior lidah dan di depan aditus laringis dan tidak dilindungi oleh tulang rawan tiroid. Sementara di bagian lateralnya, lipatan ariepiglottik melekatkan epiglottis pada tulang rawan arytenoid. Ligamen hyoepiglottik dan tiroepiglottis membantu menstabilkan tulang rawan epiglottis ini.
Sepasang tulang arytenoid berada di perbatasan supero-posterior dari lamina tulang rawan krikoid. Dasar segitiga dari kartilago arytenoid memiliki 3 permukaan (posterior, anterolateral, medial) untuk tempat melekatnya otot dan ligamen. Otot arytenoid transversal melekat pada permukaan posterior. Ligamen vestibular, dan otot arytenoid serta otot vokalis melekat di permukaan anterolateralnya. Sementara pada permukaan medialnya mengandung kelenjar mukus laring. Dasar dari masing-masing arytenoid juga memiliki prosessus muskular (dimana otot-otot krikooarytenoid posterior dan lateral melekat) dan sebuah prosessus vokalis antero-caudal (dimana ligamen vocalis melekat). Sendi krikoaryteoid berada di dasar dari masing-masing tulang rawan arytenoid.
Epiglottis bersifat fleksibel, seperti daun, elastis dan memiliki struktur tulang rawan yang meruncing ke bawah membentuk ekstensi yang mirip kapur tulis disebut petiole. Petiole merupakan tempat perlekatan dari ligamen tiroepiglottic yang menghubungkan epiglottis dengan tonjolan laring. Bagian superior dari epiglottis berlokasi di posterior lidah dan di depan aditus laringis dan tidak dilindungi oleh tulang rawan tiroid. Sementara di bagian lateralnya, lipatan ariepiglottik melekatkan epiglottis pada tulang rawan arytenoid. Ligamen hyoepiglottik dan tiroepiglottis membantu menstabilkan tulang rawan epiglottis ini.
Sepasang tulang arytenoid berada di perbatasan supero-posterior dari lamina tulang rawan krikoid. Dasar segitiga dari kartilago arytenoid memiliki 3 permukaan (posterior, anterolateral, medial) untuk tempat melekatnya otot dan ligamen. Otot arytenoid transversal melekat pada permukaan posterior. Ligamen vestibular, dan otot arytenoid serta otot vokalis melekat di permukaan anterolateralnya. Sementara pada permukaan medialnya mengandung kelenjar mukus laring. Dasar dari masing-masing arytenoid juga memiliki prosessus muskular (dimana otot-otot krikooarytenoid posterior dan lateral melekat) dan sebuah prosessus vokalis antero-caudal (dimana ligamen vocalis melekat). Sendi krikoaryteoid berada di dasar dari masing-masing tulang rawan arytenoid.
Kartilago kornikulata (santorini) berlokasi di superior dari kartilago arytenoid. Kartilago kuneiformis (Wrisberg) berlokasi di lateral dan superior dari kartilago kornikulata. Kartilago triticeous berlokasi didalam ligamen tirohyoid.
Membran quadrangular merupakan jaringan elastis yang membentuk ligamen intrinsik dari laring – salah satunya adalah ligamen vokalis. Membran quadrangular melekat di bagian posterior dari arytenoid bagian atas dan kartilago kornikulata. Ia kemudian berjalan ke bagian atas laring ke bagian lateral dari epiglottis. Batas bawah dari membran ini adalah ligamen ventrikular sementara batas atasnya merupakan bagian dari lipatan aryepiglottik.
Membran konus elastikus (membran krikotiroid) menjembatani rongga diantara krikoid dan tiroid. Di bagian belakangnya, konus elastikus melekat pada arytenoid dan prosessus vokalis pada masing-masing sisi. Prosessus vokalis terproyeksi keluar membentuk ligamen vokalis., yang kemudian membentuk komissura anterior. Ligamen ventrikularis melekat pada bagian superior dari tulang arytenoid dan menyeberangi laring untuk melekat pada tulang rawan tiroid sedikit di atas ligamen vokalis. Ligamen ventrikularis membentuk batas bawah dari membran quadrangular dan turut membentul kord ventrikularis.
Membran quadrangular merupakan jaringan elastis yang membentuk ligamen intrinsik dari laring – salah satunya adalah ligamen vokalis. Membran quadrangular melekat di bagian posterior dari arytenoid bagian atas dan kartilago kornikulata. Ia kemudian berjalan ke bagian atas laring ke bagian lateral dari epiglottis. Batas bawah dari membran ini adalah ligamen ventrikular sementara batas atasnya merupakan bagian dari lipatan aryepiglottik.
Membran konus elastikus (membran krikotiroid) menjembatani rongga diantara krikoid dan tiroid. Di bagian belakangnya, konus elastikus melekat pada arytenoid dan prosessus vokalis pada masing-masing sisi. Prosessus vokalis terproyeksi keluar membentuk ligamen vokalis., yang kemudian membentuk komissura anterior. Ligamen ventrikularis melekat pada bagian superior dari tulang arytenoid dan menyeberangi laring untuk melekat pada tulang rawan tiroid sedikit di atas ligamen vokalis. Ligamen ventrikularis membentuk batas bawah dari membran quadrangular dan turut membentul kord ventrikularis.
Batas dari aditus laringis meliputi epiglottis di anterior, kartilago kornikulata di posterior dan lipatan aryepiglottis di lateralnya. Batas bawah dari laring adalah kartilago krikoid. Laring sendiri kemudian dibagi atas regio supraglottis (vestibulus), glottis (ventrikel) dan subglottis.
Supraglottis membentang dari ceruk laryngeal ke lipatan vestibular. Lipatan vestibular (meliputi kord vokalis palsu dan kord vokalis superior) melekat di bagian depan thyroid sedikit di bawah tempat perlekatan epiglottis. Di bagian belakangnya, lipatan ini melekat pada arytenoid. Ventrikel laring (ventrikel Morgagni) merupakan sebuah rongga di antara vestibular dan Plica vokalis sejati. Segmen anterior dari ventrikel ini memanjang hingga ke dalam divertikulum yang disebut sakulus laring atau apendiks ventrikel laring. Kord vokalis sejati berlokasi di bagian inferior dari ventrikel ini.
Supraglottis membentang dari ceruk laryngeal ke lipatan vestibular. Lipatan vestibular (meliputi kord vokalis palsu dan kord vokalis superior) melekat di bagian depan thyroid sedikit di bawah tempat perlekatan epiglottis. Di bagian belakangnya, lipatan ini melekat pada arytenoid. Ventrikel laring (ventrikel Morgagni) merupakan sebuah rongga di antara vestibular dan Plica vokalis sejati. Segmen anterior dari ventrikel ini memanjang hingga ke dalam divertikulum yang disebut sakulus laring atau apendiks ventrikel laring. Kord vokalis sejati berlokasi di bagian inferior dari ventrikel ini.
Daerah di antara korda vokalis sejati di sebut glottis. Glottis merupakan bagian laring yang paling sempit. Celah glottis (rima glottis) merupakan celah yang memisahkan kord vokalis sejati dengan kartilago arytenoid. Daerah subglottis memanjang dari glottis hingga krikoid. Konus elastik membentuk batas lateral dari subglottis.
Kord vokalis sejati terutama terdiri dari otot-otot tiroarytenoid yang menghubungkan arytenoid dengan bagian dalam dari kartilago tiroid. Masing-masing otot ini berjalan paralel. Bagian medialnya disebut otot vokalis dan bagian lateralnya memanjang ke superior dan masuk ke dalam tiroid.
Otot-otot krikoarytenoid sangat penting untuk fungsi laring yang sempurna. Otot krikoarytenoid lateral membentang dari prosesus muskularis dari arytenoid ke bagian superolateral dari krikoid. Sementara otot krikoarytenoid posterior membentang dari prosessus muskularis arytenoid ke bagian posterior krikoid. Otot-otot ini merupakan satu-satunya yang dapat mengabduksi kord vokalis.
Otot-otot di interarytenoid melekatkan satu arytenoid dengan lainnya. Krikoaritenoid lateral dan interarytenoid memediasi adduksi dari kord vokalis. Otot interarytenoid merupakan satu-satunya kelompok otot yang memiliki inervasi bilateral dari nervus laring rekurren. Nervus ini menginervasi seluruh otot intrinsik lainnya. Otot krikotiroid merupakan satu-satunya otot yang di persarafi oleh cabang eksternal dari nervus laring superior( cabang kranial dari nervus X ). Otot ini berasal dari bagian bawah kartilago tiroid dan berorigo di kartilago krikoid.
Kord vokalis sejati terutama terdiri dari otot-otot tiroarytenoid yang menghubungkan arytenoid dengan bagian dalam dari kartilago tiroid. Masing-masing otot ini berjalan paralel. Bagian medialnya disebut otot vokalis dan bagian lateralnya memanjang ke superior dan masuk ke dalam tiroid.
Otot-otot krikoarytenoid sangat penting untuk fungsi laring yang sempurna. Otot krikoarytenoid lateral membentang dari prosesus muskularis dari arytenoid ke bagian superolateral dari krikoid. Sementara otot krikoarytenoid posterior membentang dari prosessus muskularis arytenoid ke bagian posterior krikoid. Otot-otot ini merupakan satu-satunya yang dapat mengabduksi kord vokalis.
Otot-otot di interarytenoid melekatkan satu arytenoid dengan lainnya. Krikoaritenoid lateral dan interarytenoid memediasi adduksi dari kord vokalis. Otot interarytenoid merupakan satu-satunya kelompok otot yang memiliki inervasi bilateral dari nervus laring rekurren. Nervus ini menginervasi seluruh otot intrinsik lainnya. Otot krikotiroid merupakan satu-satunya otot yang di persarafi oleh cabang eksternal dari nervus laring superior( cabang kranial dari nervus X ). Otot ini berasal dari bagian bawah kartilago tiroid dan berorigo di kartilago krikoid.
Persarafan dan pembuluh darah
Nervus vagus merupakan saraf sensori utama dari laring. Cabang laring internal dari nervus laring superior (cabang n.vagus) merupakan saraf sensoris untuk bagian di atas kord vokalis, termasuk indera perasa (taste buds). Nervus laring rekurren merupakan saraf sensoris untuk bagian di bawah kord vokalis dan mempersarafi seluruh otot-otot laring intrinsik. Sementara otot-otot ekstrinsik (krikotiroideus) dipersarafi oleh cabang dari nervus laring superior.
Pembuluh darah yang memasuki laring berjalan paralel dengan serabut saraf dan terutama terdiri atas arteri laring superior (cabang dari arteri tiroid superior) dan arteri laring inferior yang merupakan cabang dari arteri tiroid inferior. Cabang krikotiroid dari arteri tiroid superior juga turut mensuplai laring. Vena laring superior dan inferior merupakan vena dari laring. Vena-vena ini adalah cabang dari vena tiroid superior dan inferior.
Patofisiologi
Mekanisme dari cedera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap cedera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.
Pembuluh darah yang memasuki laring berjalan paralel dengan serabut saraf dan terutama terdiri atas arteri laring superior (cabang dari arteri tiroid superior) dan arteri laring inferior yang merupakan cabang dari arteri tiroid inferior. Cabang krikotiroid dari arteri tiroid superior juga turut mensuplai laring. Vena laring superior dan inferior merupakan vena dari laring. Vena-vena ini adalah cabang dari vena tiroid superior dan inferior.
Patofisiologi
Mekanisme dari cedera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap cedera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.
Keterangan : pada saat rem mendadak dan tanpa sabuk pengaman, tubuh supir terdorong ke depan dan membentur stir, menyebabkan laring terjepit antara stir dan vertebra servikalis |
Trauma laring akibat kecelakaan bermotor dapat terjadi pada penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman ketika lehernya menimpa setir atau dashboard pada saat kendaraan di rem dengan mendadak. Kekuatan dari arah depan akan mendorong laring ke arah vertebra servikalis dan menyebabkan cedera.
Cedera akibat terjerat tali yang terentang (clothesline injuries) terjadi ketika seseorang yang bergerak menerjang sebuah objek terentang yang diam. Hasilnya adalah cedera yang serius akibat laring yang terdorong ke arah spina servikalis.
Secara umum pada semua mekanisme kasus trauma laring adalah adanya transfer langsung dari tenaga eksternal yang besar kepada laring. Tenaga besar ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan berbagai cedera yang hebat termasuk robekan mukosa, dislokasi dan fraktur. Edema, hematoma, nekrosis kartilago, perubahan suara, paralisis saraf, aspirasi dan gangguan jalan nafas dapat menyertai trauma ini.
Cedera laring dapet bervariasi sesuai dengan letak anatomisnya :
* Supraglottis: Tenaga yang menimbulkan trauma seringkali menyebabkan fraktur horisontal pada alae tiroid dan disrupsi ligamentum hyoepiglottik yang disusul terjadinya dislokasi ke arah superior dan posterior. Reposisi dari epiglottis akan menghasilkan lumen palsu di depan epiglottis. Lumen palsu ini dapat menjadi saluran ke dalam laring atau terus ke depan ke arah kartilago tiroid dan menyebabkan emfisema servikal.
* Glottis: Kekuatan trauma akan menyebabkan fraktur berbentuk salib pada kartilago thyroid di dekat perlekatannya dengan kantung suara.
* Subglottis: Kekuatan trauma terhadap kartilago krikoid akan menyebabkan cedera pada sendi krikothyroid dan berakibat pada paralisis kantung suara akibat kerusakan nervus laring rekuren.
* Tulang Hyoid : Lebih sering ditemukan pada wanita dan fraktur hyoid cenderung terjadi pada bagian sentral dari tulang hyoid oleh karena sifat kekuatan tulangnya.
* Sendi Cricoarytenoid: Kekuatan traumatik akan menyebabkan dislokasi dari alae tiroid secara medial atau menyebabkan kompresi laring terhadap vertebra servikalis seringkali juga menyebabkan dislokasi krikoaritenoid. Cedera yang terjadi biasanya unilateral.
* Sendi krikotiroid : Gangguan terjadi ketika kekuatan traumatik pada leher depan menyebabkan kornu inferior dari kartilago tiroid tergeser ke belakang ke arah kartilago krikoid. Dislokasi ini menyebabkan terbatasnya fungsi otot krikotiroid dan mengganggu kontrol nada (pitch control).
Cedera pada saraf-saraf laring yang berulang pada akhirnya akan menyebabkan paralisis pita suara.
Selalulah menduga akan adanya cedera jalan nafas atas pada setiap pasien dengan trauma servikal. Gejala-gejala yang sering muncul pada pasien trauma laring termasuk diantaranya nyeri leher, suara parau, dispnea, disfonia, afonia, odinofonia, dan odinofagia. Namun, tidak ada satu gejalapun yang berkorelasi dengan baik dengan beratnya cedera laring yang terjadi.
Pemeriksaan fisis lengkap adalah vital untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat dari trauma laring. Sebelum melanjutkan ke area lain dari pemeriksaan fisis yang dilakukan, spina servikalis harus dipastikan tidak mengalami cedera.
Beberapa tanda-tanda umum dari trauma laring adalah emfisema subkutan, stridor, hemoptisis, hematoma, ekimosis, kekakuan laring, imobilitas pita suara, hilangnya lapang pandang anatomis dan krepitus tulang. Patut dicurgai adanya fraktur akut jika kekakuan didapatkan pada palpasi laring. Periksa obstruksi jalan nafas bila terdapat stridor. Pemeriksaan lebih lanjut pada glottis diperlukan bila terdapat kombinasi stridor inspiratoar dan ekspiratoar sekaligus.
Trauma akibat inhalasi biasanya disebabkan oleh udara yang sangat panas, terutama uap panas, yang mampu membawa serta tenaga panas bersamanya. Ketika menghisap udara yang panas, glottis secara refleks akan menutup. Hal ini akan mengurangi cedera yang disebabkan oleh panas dengan cara menghentikan pernafasan, dan membuat cedera terbatas hanya sampai di daerah supraglottis saja.
Cedera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada kelompok usia kanak-kanak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.
Gejala Klinik
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan makin menghebat atau timbul mendadak merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pada pita suara akibat trauma seperti edema , hematoma, laserasi atau parese pita suara. Stridor juga mungkin akan ditemukan.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau fraktur tulang-tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada dan abdomen dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul.
Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan.
Cedera akibat terjerat tali yang terentang (clothesline injuries) terjadi ketika seseorang yang bergerak menerjang sebuah objek terentang yang diam. Hasilnya adalah cedera yang serius akibat laring yang terdorong ke arah spina servikalis.
Secara umum pada semua mekanisme kasus trauma laring adalah adanya transfer langsung dari tenaga eksternal yang besar kepada laring. Tenaga besar ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan berbagai cedera yang hebat termasuk robekan mukosa, dislokasi dan fraktur. Edema, hematoma, nekrosis kartilago, perubahan suara, paralisis saraf, aspirasi dan gangguan jalan nafas dapat menyertai trauma ini.
Cedera laring dapet bervariasi sesuai dengan letak anatomisnya :
* Supraglottis: Tenaga yang menimbulkan trauma seringkali menyebabkan fraktur horisontal pada alae tiroid dan disrupsi ligamentum hyoepiglottik yang disusul terjadinya dislokasi ke arah superior dan posterior. Reposisi dari epiglottis akan menghasilkan lumen palsu di depan epiglottis. Lumen palsu ini dapat menjadi saluran ke dalam laring atau terus ke depan ke arah kartilago tiroid dan menyebabkan emfisema servikal.
* Glottis: Kekuatan trauma akan menyebabkan fraktur berbentuk salib pada kartilago thyroid di dekat perlekatannya dengan kantung suara.
* Subglottis: Kekuatan trauma terhadap kartilago krikoid akan menyebabkan cedera pada sendi krikothyroid dan berakibat pada paralisis kantung suara akibat kerusakan nervus laring rekuren.
* Tulang Hyoid : Lebih sering ditemukan pada wanita dan fraktur hyoid cenderung terjadi pada bagian sentral dari tulang hyoid oleh karena sifat kekuatan tulangnya.
* Sendi Cricoarytenoid: Kekuatan traumatik akan menyebabkan dislokasi dari alae tiroid secara medial atau menyebabkan kompresi laring terhadap vertebra servikalis seringkali juga menyebabkan dislokasi krikoaritenoid. Cedera yang terjadi biasanya unilateral.
* Sendi krikotiroid : Gangguan terjadi ketika kekuatan traumatik pada leher depan menyebabkan kornu inferior dari kartilago tiroid tergeser ke belakang ke arah kartilago krikoid. Dislokasi ini menyebabkan terbatasnya fungsi otot krikotiroid dan mengganggu kontrol nada (pitch control).
Cedera pada saraf-saraf laring yang berulang pada akhirnya akan menyebabkan paralisis pita suara.
Selalulah menduga akan adanya cedera jalan nafas atas pada setiap pasien dengan trauma servikal. Gejala-gejala yang sering muncul pada pasien trauma laring termasuk diantaranya nyeri leher, suara parau, dispnea, disfonia, afonia, odinofonia, dan odinofagia. Namun, tidak ada satu gejalapun yang berkorelasi dengan baik dengan beratnya cedera laring yang terjadi.
Pemeriksaan fisis lengkap adalah vital untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat dari trauma laring. Sebelum melanjutkan ke area lain dari pemeriksaan fisis yang dilakukan, spina servikalis harus dipastikan tidak mengalami cedera.
Beberapa tanda-tanda umum dari trauma laring adalah emfisema subkutan, stridor, hemoptisis, hematoma, ekimosis, kekakuan laring, imobilitas pita suara, hilangnya lapang pandang anatomis dan krepitus tulang. Patut dicurgai adanya fraktur akut jika kekakuan didapatkan pada palpasi laring. Periksa obstruksi jalan nafas bila terdapat stridor. Pemeriksaan lebih lanjut pada glottis diperlukan bila terdapat kombinasi stridor inspiratoar dan ekspiratoar sekaligus.
Trauma akibat inhalasi biasanya disebabkan oleh udara yang sangat panas, terutama uap panas, yang mampu membawa serta tenaga panas bersamanya. Ketika menghisap udara yang panas, glottis secara refleks akan menutup. Hal ini akan mengurangi cedera yang disebabkan oleh panas dengan cara menghentikan pernafasan, dan membuat cedera terbatas hanya sampai di daerah supraglottis saja.
Cedera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada kelompok usia kanak-kanak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.
Gejala Klinik
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan makin menghebat atau timbul mendadak merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pada pita suara akibat trauma seperti edema , hematoma, laserasi atau parese pita suara. Stridor juga mungkin akan ditemukan.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau fraktur tulang-tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada dan abdomen dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul.
Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan.
Trauma laring eksternal dibagi ke dalam 5 grup . sebagai berikut :
Grup I:
Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur.
Grup II:
Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada ekspose tulang rawan, fraktur nondislokasi.
Grup III
Edema berat, robekan mukosa dengan ekspose tulang rawan, disertai kord vokalis yang immobile.
Grup IV
sama dengan derajat 3 ditambah perlukaan berat endolaringeal disertai bentuk laring yang tidak beraturan.
Grup V
Terputusnya laringotrakeal komplit.
Pemeriksaan Penunjang
* Protokol trauma umum (Advanced Trauma Life Support [ATLS]) diindakasikan untuk menilai pasien yang cedera parah. Jalan nafas mesti dibersihkan dan sistem organ yang lain ( jantung, paru, vaskular) juga harus distabilisasi. Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut, cedera yang mengancam jiwa, seperti cedera vaskular dan perdarahan, harus diatasi terlebih dahulu.
* Secara umum, pada fraktur laring, foto servikal dan thoraks harus diambil terlebih dahulu untuk menyingkirkan trauma servikal.
* Fraktur laring biasanya telah dapat dicurigai berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisis saja,namun visualisasi langsung dari laring sangatlah penting untuk menentukan lokasi dan luasnya cedera. Endoskopi merupakan pilihan utama untuk maksud ini. Dengan endoskopi, berbagai kelainan seperti edema, hematoma, robekan mukosa, kartilago yang terpapar, lebam dan paralisis kord vokal,serta dislokasi arytenoid dapat diperiksa dengan endoskopi. Prosedur pilihan endoskopi yang terbaik digunakan adalah Transnasal fiberoptic laryngoscopy dimana dengan prosedur ini dapat menilai jalan nafas dalam kondisi dinamik dan mengidentifikasi berbagai kelainan. Sementara itu, laringoskopi indirek dapat membantu melihat keadaan mukosa yang abnormal, kartilago yang fraktur ataupun dislokasi arytenoid. Namun pada pasien yang cedera berat sebaiknya laringoskopi indirek tidak dilakukan karena dapat menyumbat pernafasan dan memicu batuk .
* Bila penyebab dari cedera laring belum jelas, pemeriksaan histologi dan membantu menentukan penyebab cedera dan mendeteksi kelainan makroskopik lainnya.
Radiologi
CT scan merupakan pemeriksaan radiologi pilihan utama untuk memeriksa trauma laring.
o CT scan dapat membantu mendeteksi fraktur laring pada pasien yang datang tanpa keluhan dan gejala klinis. Namun, pada pasien dengan cedera ringan dan gejala yang minim (misalnya edema, ekimosis dan hematoma), CT scan tidak membantu memberikan informasi tambahan yang dapat merubah terapi. Sama halnya pada pasien yang datang dengan gangguan nafas dan secara klinik membutuhkan pembedahan yang agresif, tidak memerlukan CT Scan untuk menegakkan diagnosisnya.
o Dengan penggunaan yang bijaksana, informasi yang diperoleh dari CT Scan dapat menuntun kepada terapi yang tepat dan mencegah dari tindakan eksplorasi bedah yang tidak perlu. CT Scan haruslah dimaksudkan untuk menentukan jenis terapi yang tepat dan bukan untuk memastikan cedera yang telah diperiksa sebelumnya.
o Teknik pencitraan CT Scan yang terus berkembang hingga bisa memproduksi gambar 3 dimensi akan sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis fraktur laring di saat modalitas lain seperti MRI, fibroskopi dan CT scan konvensional tidak mampu mendeteksinya.
* MRI jarang dipergunakan dalam mendeteksi trauma laring oleh karena tidak praktis dan tidak dapat mengambarkan struktur skeletal dengan baik.
Prosedur diagnostik lainnya
* Prosedur di bawah ini digunakan untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai trauma laring.
o Fiberoptik nasofaringoskopi.
o Direct laringoskopi.
o Bronkoskopi.
o Esofagoskopi.
Penatalaksanaan
A. Terapi Medis
Untuk gejala yang ringan dimana edema, hematoma, ataupun robekan mukosa yang kecil (tidak signifikan) ditemukan tanpa adanya cidera lain yang serius, terapi konservatif saja sudah cukup memadai. Robekan mukosa yang kurang dari 2 cm dapat diterapi efekif tanpa perlu dibedah. Tujuan utama dari terapi konservatif adalah untuk mengembalikan fungsi laring pasien ke keadaan awal sebelum trauma yakni sebgai ventilasi, pembentukan suara dan proteksi saluran nafas. Cedera laring ringan tidak membutuhkan trakeostomi, namun observasi ketat dalam 24-48 jam setelah cedera terjadi, tetap harus dilakukan.
Bed rest sangat dianjurkan dengan elevasi kepala 30-45˚. Demikian juga dengan kantung suara di anjurkan untuk diistirahatkan untuk mengurangi edema, pembentukan hematoma dan emfisema subkutan. Udara yang dilembabkan akan membantu mengurangi pembentukan krusta dan mempercepat berakhirnya disfungsi silier. Oksigen tambahan seringkali tidak diperlukan dan bahkan bisa membahayakan pada beberapa pasien yang disertai PPOK.
Pada tahap awal hindari pemberian makan secara oral melainkan cukup parenteral saja yang perlahan-lahan diikuti makanan cair per oral. Diet disesuaikan dengan derajat parahnya trauma. Hindari penggunaan tuba nasogastrik karena akan memperparah cedera laring ketika tuba dipasang.
Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, sebagian ahli THT percaya kortikosteroid akan mengurangi inflamasi, edem dan fibrosis serta mencegah pembentukan jaringan granulasi. Kortikosteroid sistemik sangat menolong hanya pada beberapa hari pertama saja setelah trauma terjadi.
Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas.
Penggunaan obat-obatan anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu mengurangi jaringan granulasi dan stenosis trakea.
Bed rest sangat dianjurkan dengan elevasi kepala 30-45˚. Demikian juga dengan kantung suara di anjurkan untuk diistirahatkan untuk mengurangi edema, pembentukan hematoma dan emfisema subkutan. Udara yang dilembabkan akan membantu mengurangi pembentukan krusta dan mempercepat berakhirnya disfungsi silier. Oksigen tambahan seringkali tidak diperlukan dan bahkan bisa membahayakan pada beberapa pasien yang disertai PPOK.
Pada tahap awal hindari pemberian makan secara oral melainkan cukup parenteral saja yang perlahan-lahan diikuti makanan cair per oral. Diet disesuaikan dengan derajat parahnya trauma. Hindari penggunaan tuba nasogastrik karena akan memperparah cedera laring ketika tuba dipasang.
Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, sebagian ahli THT percaya kortikosteroid akan mengurangi inflamasi, edem dan fibrosis serta mencegah pembentukan jaringan granulasi. Kortikosteroid sistemik sangat menolong hanya pada beberapa hari pertama saja setelah trauma terjadi.
Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas.
Penggunaan obat-obatan anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu mengurangi jaringan granulasi dan stenosis trakea.
B. Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisis, prosedur endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cedera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago laring yang terlihat.
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cederanya. Bisa dengan midline tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.
Fraktur kartilago harus dikurangi dan dimobilisasi. Bila terdapat fraktur kartilago yang terisolasi dan tidak memiliki perikondrium harus segera di debridemen untuk menghindari kondritis dan disfungsi kord vokalis.
Secara tradisional, benang kawat telah digunakan untuk immobilisasi dan mengurangi fraktur pada kartilago.
Namun saat ini kebanyakan ahli bedah lebih memilih menggunakan miniplate dari logam untuk memperbaiki fraktur pada kartilago laring. Miniplate ini terbukti efektif untuk menstabilisasi arsitektur laring dan membantu mengembalikan bentuk laring seperti sedia kala. Miniplate juga mengurangi masa rawat inap, dan lebih nyaman bagi pasien. Apalagi kini telah tersedia plate yang terbuat dari bahan yang dapat diabsorbsi sehingga akan jauh lebih nyaman bagi pasien.
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cedera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago laring yang terlihat.
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cederanya. Bisa dengan midline tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.
Fraktur kartilago harus dikurangi dan dimobilisasi. Bila terdapat fraktur kartilago yang terisolasi dan tidak memiliki perikondrium harus segera di debridemen untuk menghindari kondritis dan disfungsi kord vokalis.
Secara tradisional, benang kawat telah digunakan untuk immobilisasi dan mengurangi fraktur pada kartilago.
Namun saat ini kebanyakan ahli bedah lebih memilih menggunakan miniplate dari logam untuk memperbaiki fraktur pada kartilago laring. Miniplate ini terbukti efektif untuk menstabilisasi arsitektur laring dan membantu mengembalikan bentuk laring seperti sedia kala. Miniplate juga mengurangi masa rawat inap, dan lebih nyaman bagi pasien. Apalagi kini telah tersedia plate yang terbuat dari bahan yang dapat diabsorbsi sehingga akan jauh lebih nyaman bagi pasien.
Penatalaksanaan macam-macam luka
1. Luka terbuka
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma pada leher setinggi laring, misalnya oleh clurit, pisau dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena perdarahan atau terjadinya asfiksia.
Diagnosis luka terbuka di laring dapat dapat ditegakkan berdasarkan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke daerah paru.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pmbuluh darah yang cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.
Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotik serum anti tetanus. Komplikasi yang dapat timbul adalah aspirasi darah, paralisis pita suara dan stenosis laring.
2. Luka tertutup (closed injury)
Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannnya trauma. Pada truma ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk dan waktu bicara. Disamping itu mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak nafas.
Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring. Sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas ( stridor dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia, serta emfisema yang ditemukan di daerah leher, muka, dada dan mediastinum.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak nafas. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi.
Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setlah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT Scan.
Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.
Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya adalah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (flap) atau tandur alih (graft) kulit.
Untuk menyangga lumen laring dapat digunakan bidai (stent) atau mold dari silastik, porteks, atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu. Penyangga tersebut bisanya berbentuk seperti huruf T sehingga disebut T tube.
Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea.
Secara garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi :
* Akut
o Obstruksi jalan nafas
o Afonia
o Disfonia
o Odinofagia
o Disfagia
o Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)
* Kronik
o Perubahan suara (21-25%)
o Obstruksi kronik (15-17%)
o Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)
o Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)
o Perubahan kosmetik
o Aspirasi kronik
Prognosis
Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya dapat pula diminimalisir.
Trauma tajam laring diasosiasikan dengan 3-6 % angka kematian. Berbagai teknik penatalaksanaan yang strategis terus dikembangkan untuk trauma laring jenis ini.
Pasien dengan derajat trauma laring yang berada di grup I dan II sebagian besar sembuh sempurna meski demikian beberapa yang lebih parah (misalnya yang disertai dislokasi kartilago ataupun cedera saraf), memiliki prognosis yang buruk.
Diagnosis luka terbuka di laring dapat dapat ditegakkan berdasarkan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke daerah paru.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pmbuluh darah yang cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.
Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotik serum anti tetanus. Komplikasi yang dapat timbul adalah aspirasi darah, paralisis pita suara dan stenosis laring.
2. Luka tertutup (closed injury)
Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannnya trauma. Pada truma ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk dan waktu bicara. Disamping itu mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak nafas.
Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring. Sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas ( stridor dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia, serta emfisema yang ditemukan di daerah leher, muka, dada dan mediastinum.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sadar dan sesak nafas. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi.
Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setlah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT Scan.
Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.
Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya adalah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (flap) atau tandur alih (graft) kulit.
Untuk menyangga lumen laring dapat digunakan bidai (stent) atau mold dari silastik, porteks, atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu. Penyangga tersebut bisanya berbentuk seperti huruf T sehingga disebut T tube.
Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea.
Secara garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi :
* Akut
o Obstruksi jalan nafas
o Afonia
o Disfonia
o Odinofagia
o Disfagia
o Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)
* Kronik
o Perubahan suara (21-25%)
o Obstruksi kronik (15-17%)
o Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)
o Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)
o Perubahan kosmetik
o Aspirasi kronik
Prognosis
Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya dapat pula diminimalisir.
Trauma tajam laring diasosiasikan dengan 3-6 % angka kematian. Berbagai teknik penatalaksanaan yang strategis terus dikembangkan untuk trauma laring jenis ini.
Pasien dengan derajat trauma laring yang berada di grup I dan II sebagian besar sembuh sempurna meski demikian beberapa yang lebih parah (misalnya yang disertai dislokasi kartilago ataupun cedera saraf), memiliki prognosis yang buruk.