Tujuan utama dari pengobatan obstruksi biliaris (sumbatan empedu) adalah untuk mengobati penyebab yang mendasari sehingga terjadi sumbatan pada saluran empedu tersebut. Pasien yang mengalami obstruksi bilier, jangan dirujuk untuk operasi jika penyebab ataupun diagnosisnya belum jelas. Dengan demikian, penggunaan teknik untuk memvisualisasikan traktus biiliaris pada pasien obstruksi dengan jaundice, baik invasif maupun noninvasif, haruslah tepat dan seefektif mungkin.
Namun perlu diingat bahwa, keterlambatan memberi terapi yang lebih invasif pada pasien yang tidak berespon dengan tindakan konservatif dan nonivasif, akan meningkatkan risiko kompliasi yang merugikan.
Obstruksi bilier diterapi dengan medikasi (obat-oabatan) dan pada kondisi yang lebih berat membutuhkan intervensi bedah.
PERAWATAN MEDIS / OBAT-OBATAN
Terapi obstruksi biliaris dengan medikasi meliputi :
a. Garam empedu per oral
Pada obstruksi biliaris oleh karena cholelithiasis (batu pada saluran empedu), baik pasien sendiri yang menolak operasi ataupun memiliki kontra intraindikasi terhadap tindakan intervensi bedah, teknik yang digunakan untuk melarutkan batu non kalsifikasi yang diderita dapat dilakukan dengan pemberian garam empedu per oral selama 2 tahun
Oleh karena pengosongan kandung emperdu merupakan faktor penentu dalam penyingkiran batu, fungsi kandung empedu yang normal harus dipastikan terlebih dahulu dengan kolesistografi oral.
b. Ursodeoxycholic acid
Ursodeoxycholic acid atau Ursodiol (10 mg/kgBB/hari) bekerja mengurangi sekresi kolesterol empedu.
Penurunan kolesterol akan menurunkan saturasi cairan empedu, sehingga pada 30-40% pasien, didapatkan terjadi pelarutan secara bertahap dari batu yang mengandung kolesterol. Namun, batu bisa kambuh kembali dalam 5 tahun setelah obat dihentikan (50% dari pasien).
c. Lithotripsy extracorporeal shock-wave (ESWL)
Lithotripsy extracorporeal shock-wave dapat digunakan sebagai tambahan dari terapi oral. Dengan meningkatkan rasio permukaan-ke-volume batu, kombinasi kedua teknik dapat meningkatkan kecepatan pelarutan batu dan membuat pembersihan fragmen yang lebih kecil lebih mudah. Kontraindikasi meliputi komplikasi penyakit batu empedu (misalnya, kolesistitis, choledocholelithiasis, bilier pankreatitis), kehamilan, dan koagulopati atau penggunaan obat antikoagulan (misalnya, karena risiko pembentukan hematoma).
Sementara itu, Lithotripsy konvensional dikaitkan dengan angka kekambuhan hingga 70% untuk batu empedu, sehingga tidak disetujui oleh Asosiasi Obat dan Makanan AS (FDA), dan dibatasi penggunaannya untuk program penelitian saja.
d. Resin pengikat asam empedu
Resin pengikat asam empedu seperti cholestyramine (4 g) atau colestipol (5 g), dilarutkan dalam air atau jus, dikonsumsi 3 kali sehari, dapat membantu mengobati gejala pruritus yang berhubungan dengan obstruksi bilier. Namun, kekurangan vitamin A, D, E, dan K yang terjadi pada steatorrhea, dapat diperburuk oleh penggunaan cholestyramine atau colestipol ini. Oleh karena itu, rejimen individual untuk suplemen vitamin ini kadang diperlukan dalam perawatan pasien dengan kondisi tersebut.
Cholestyramine bekerja dengan cara mengikat asam empedu membentuk kompleks yang lebih kurang larut di dalam usus, sehingga tidak dapat diserap kembali oleh jalur reuptake garam empedu enterohepatik.
Colestipol bekerja dengan cara mengikat asam empedu di usus, memfasilitasi penyingkiran garam empedu dari sirkulasi enterohepatik , dan mencegah penyerapannya kembali.
e. Antihistamin
Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus, khususnya sebagai obat penenang di malam hari. Efektivitas golongan obat ini sedang. Opioid endogen diduga sebagai salah satu penceetus timbulnya gejala pruritus pada kolestasis. Sehingga, pengobatan dengan nalokson secara parenteral, atau rejimen terbaru, nalmefene, telah terbukti membantu mengurangi pruritus pada beberapa pasien.
f. Rifampin
Rifampiin (Rifadin, Rifadin IV, Rimactane) telah disarankan sebagai tambahan medikasi untuk pengobatan kolestasis. Dengan mengurangi flora usus, dapat memperlambat konversi garam empedu primer menjadi sekunder sehingga dapat mengurangi kadar serum bilirubin, kadar ALP, dan pruritus pada pasien tertentu.
Rifampin bekerja menghambat pertumbuhan bakteri tergantung DNA dengan cara berikatan dengan sub unit beta dari enzym RNA polymerase yang tergantung DNA, berujung pada penghambatan proses transkripsi dan menghentikan pertumbuhan bakteri.
Penghentian obat yang dapat menyebabkan atau memperburuk kolestasis dan / atau obstruksi bilier bisa menyebabkan proses pemulihan yang total. Demikian pula, efek yang sama didapatkan, bila dilakukan perawatan yang tepat terhadap infeksi (misalnya, virus, bakteri, parasit).
TERAPI BEDAH
Seperti pada perawatan medis, kebutuhan untuk dilakukannya tindakan intervensi bedah tergantung pada penyebab obstruksi bilier.
a. Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan tindakan bedah yang dianjurkan dalam kasus cholelithiasis yang disertai gejala klinis, karena pada kelompok pasien ini memiliki risiko mendapat komplikasi lebih lanjut.
Kolesistektomi terbuka relatif aman, dengan angka kematian dari 0,1-0,5%. Sementara,
kolesistektomi laparoskopi masih merupakan terapi bedah pilihan untuk batu empedu simtomatik. Hal ini karena periode pemulihan pasca operasi lebih pendek (bisa kembali bekerja rata-rata dalam 7 hari), penurunan tingkat ketidaknyamanan pasca operasi, dan meningkatkan hasil kosmetik (jaringan parut minimal)
Namun, sekitar 5% dari kasus laparoskopi dikonversi ke prosedur terbuka sekunder, ketika dokter ahli bedah kesulitan dalam memvisualisasikan anatomi atau komplikasi yang terjadi.
b. Reseksi neoplasma dan PDT (photodynamic)
Resektabilitas penyebab neoplastik dari obstruksi bilier bervariasi, tergantung pada lokasi dan luasnya penyakit. Terapi photodynamic (PDT) telah terbukti memiliki hasil yang baik dalam pengobatan paliatif keganasan saluran empedu stadium lanjut, terutama bila digunakan bersama dengan prosedur stenting bilier.
PDT menghasilkan nekrosis jaringan lokal dengan mengaplikasikan agen photosensitizing, yang secara spesifik akan terakumulasi dalam jaringan tumor. Setelah agen photosensitizing diaplikasikan, lalu daerah target diekspos daerah sinar laser, yang akan mengaktifkan pengobatan dan hasilnya berupa penghancuran sel tumor.
c. Transplantasi hati
Bila diperlukan, maka transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasien yang tepat.
KONSULTASI
Perawatan pasien sebaiknya bersama dengan ahli pada bidang berikut :
DIET
AKTIVITAS FISIK
Olahraga dan latihan fisik secara teratur dapat mengurangi risiko batu empedu dan komplikasi yang menyertai.
Artikel terkait :
OBSTRUKSI BILIARIS : PATOFISIOLOGI
OBSTRUKSI BILIARIS : PENYEBAB, PEMERIKSAAN FISIS DAN DD
OBSTRUKSI BILIARIS : PEMERIKSAAN PENUNJANG
OBSTRUKSI BILIARIS : TERAPI DAN TATALAKSANA
Namun perlu diingat bahwa, keterlambatan memberi terapi yang lebih invasif pada pasien yang tidak berespon dengan tindakan konservatif dan nonivasif, akan meningkatkan risiko kompliasi yang merugikan.
Obstruksi bilier diterapi dengan medikasi (obat-oabatan) dan pada kondisi yang lebih berat membutuhkan intervensi bedah.
PERAWATAN MEDIS / OBAT-OBATAN
Terapi obstruksi biliaris dengan medikasi meliputi :
a. Garam empedu per oral
Pada obstruksi biliaris oleh karena cholelithiasis (batu pada saluran empedu), baik pasien sendiri yang menolak operasi ataupun memiliki kontra intraindikasi terhadap tindakan intervensi bedah, teknik yang digunakan untuk melarutkan batu non kalsifikasi yang diderita dapat dilakukan dengan pemberian garam empedu per oral selama 2 tahun
Oleh karena pengosongan kandung emperdu merupakan faktor penentu dalam penyingkiran batu, fungsi kandung empedu yang normal harus dipastikan terlebih dahulu dengan kolesistografi oral.
b. Ursodeoxycholic acid
Ursodeoxycholic acid atau Ursodiol (10 mg/kgBB/hari) bekerja mengurangi sekresi kolesterol empedu.
Penurunan kolesterol akan menurunkan saturasi cairan empedu, sehingga pada 30-40% pasien, didapatkan terjadi pelarutan secara bertahap dari batu yang mengandung kolesterol. Namun, batu bisa kambuh kembali dalam 5 tahun setelah obat dihentikan (50% dari pasien).
c. Lithotripsy extracorporeal shock-wave (ESWL)
Lithotripsy extracorporeal shock-wave dapat digunakan sebagai tambahan dari terapi oral. Dengan meningkatkan rasio permukaan-ke-volume batu, kombinasi kedua teknik dapat meningkatkan kecepatan pelarutan batu dan membuat pembersihan fragmen yang lebih kecil lebih mudah. Kontraindikasi meliputi komplikasi penyakit batu empedu (misalnya, kolesistitis, choledocholelithiasis, bilier pankreatitis), kehamilan, dan koagulopati atau penggunaan obat antikoagulan (misalnya, karena risiko pembentukan hematoma).
Sementara itu, Lithotripsy konvensional dikaitkan dengan angka kekambuhan hingga 70% untuk batu empedu, sehingga tidak disetujui oleh Asosiasi Obat dan Makanan AS (FDA), dan dibatasi penggunaannya untuk program penelitian saja.
d. Resin pengikat asam empedu
Resin pengikat asam empedu seperti cholestyramine (4 g) atau colestipol (5 g), dilarutkan dalam air atau jus, dikonsumsi 3 kali sehari, dapat membantu mengobati gejala pruritus yang berhubungan dengan obstruksi bilier. Namun, kekurangan vitamin A, D, E, dan K yang terjadi pada steatorrhea, dapat diperburuk oleh penggunaan cholestyramine atau colestipol ini. Oleh karena itu, rejimen individual untuk suplemen vitamin ini kadang diperlukan dalam perawatan pasien dengan kondisi tersebut.
Cholestyramine bekerja dengan cara mengikat asam empedu membentuk kompleks yang lebih kurang larut di dalam usus, sehingga tidak dapat diserap kembali oleh jalur reuptake garam empedu enterohepatik.
Colestipol bekerja dengan cara mengikat asam empedu di usus, memfasilitasi penyingkiran garam empedu dari sirkulasi enterohepatik , dan mencegah penyerapannya kembali.
e. Antihistamin
Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus, khususnya sebagai obat penenang di malam hari. Efektivitas golongan obat ini sedang. Opioid endogen diduga sebagai salah satu penceetus timbulnya gejala pruritus pada kolestasis. Sehingga, pengobatan dengan nalokson secara parenteral, atau rejimen terbaru, nalmefene, telah terbukti membantu mengurangi pruritus pada beberapa pasien.
f. Rifampin
Rifampiin (Rifadin, Rifadin IV, Rimactane) telah disarankan sebagai tambahan medikasi untuk pengobatan kolestasis. Dengan mengurangi flora usus, dapat memperlambat konversi garam empedu primer menjadi sekunder sehingga dapat mengurangi kadar serum bilirubin, kadar ALP, dan pruritus pada pasien tertentu.
Rifampin bekerja menghambat pertumbuhan bakteri tergantung DNA dengan cara berikatan dengan sub unit beta dari enzym RNA polymerase yang tergantung DNA, berujung pada penghambatan proses transkripsi dan menghentikan pertumbuhan bakteri.
Penghentian obat yang dapat menyebabkan atau memperburuk kolestasis dan / atau obstruksi bilier bisa menyebabkan proses pemulihan yang total. Demikian pula, efek yang sama didapatkan, bila dilakukan perawatan yang tepat terhadap infeksi (misalnya, virus, bakteri, parasit).
TERAPI BEDAH
Seperti pada perawatan medis, kebutuhan untuk dilakukannya tindakan intervensi bedah tergantung pada penyebab obstruksi bilier.
a. Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan tindakan bedah yang dianjurkan dalam kasus cholelithiasis yang disertai gejala klinis, karena pada kelompok pasien ini memiliki risiko mendapat komplikasi lebih lanjut.
Kolesistektomi terbuka relatif aman, dengan angka kematian dari 0,1-0,5%. Sementara,
kolesistektomi laparoskopi masih merupakan terapi bedah pilihan untuk batu empedu simtomatik. Hal ini karena periode pemulihan pasca operasi lebih pendek (bisa kembali bekerja rata-rata dalam 7 hari), penurunan tingkat ketidaknyamanan pasca operasi, dan meningkatkan hasil kosmetik (jaringan parut minimal)
Namun, sekitar 5% dari kasus laparoskopi dikonversi ke prosedur terbuka sekunder, ketika dokter ahli bedah kesulitan dalam memvisualisasikan anatomi atau komplikasi yang terjadi.
b. Reseksi neoplasma dan PDT (photodynamic)
Resektabilitas penyebab neoplastik dari obstruksi bilier bervariasi, tergantung pada lokasi dan luasnya penyakit. Terapi photodynamic (PDT) telah terbukti memiliki hasil yang baik dalam pengobatan paliatif keganasan saluran empedu stadium lanjut, terutama bila digunakan bersama dengan prosedur stenting bilier.
PDT menghasilkan nekrosis jaringan lokal dengan mengaplikasikan agen photosensitizing, yang secara spesifik akan terakumulasi dalam jaringan tumor. Setelah agen photosensitizing diaplikasikan, lalu daerah target diekspos daerah sinar laser, yang akan mengaktifkan pengobatan dan hasilnya berupa penghancuran sel tumor.
c. Transplantasi hati
Bila diperlukan, maka transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasien yang tepat.
KONSULTASI
Perawatan pasien sebaiknya bersama dengan ahli pada bidang berikut :
- Digestif
- Radiolog
- Dokter bedah umum
- Gizi
DIET
- Obesitas, asupan energi berlebih, dan penurunan berat badan yang cepat dapat menyebabkan pembentukan batu, dengan potensi obstruksi bilier sebagai konsekuensinya. Penurunan berat badan secara bertahap dan sedang, akan bermanfaat pada pasien yang berisiko.
- Mengurangi asupan lemak jenuh.
- Asupan tinggi serat telah dikaitkan dengan risiko lebih rendah terjadinya batu empedu.
- Mengurangi asupan gula karena asupan gula yang tinggi dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu.
AKTIVITAS FISIK
Olahraga dan latihan fisik secara teratur dapat mengurangi risiko batu empedu dan komplikasi yang menyertai.
Artikel terkait :
OBSTRUKSI BILIARIS : PATOFISIOLOGI
OBSTRUKSI BILIARIS : PENYEBAB, PEMERIKSAAN FISIS DAN DD
OBSTRUKSI BILIARIS : PEMERIKSAAN PENUNJANG
OBSTRUKSI BILIARIS : TERAPI DAN TATALAKSANA